Berdasarkan rencana pemerintah tentang dikenakannya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas produk bahan pokok atau sembako, rupanya juga meluas pada sektor pendidikan.
Upaya pemerintah dalam mengoptimalkan pendapatan negara menjadikan sekolah atau jasa pendidikan lainnya ikut terkena imbasnya dengan menarik PPN sebesar 12%.
Padahal sebelumnya, mengacu pada UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, jasa pendidikan termasuk dalam daftar objek non-jasa kena pajak (JKP). Namun, kini pemerintah telah menghapusnya dari daftar tersebut.
Seharusnya pemerintah dapat berpikir lebih keras dan kreatif mengenai pajak yang hendak dikenakan kepada rakyat, serta mampu mengelolanya dengan baik. Sektor pangan dan pendidikan sudah sepatutnya mendapatkan bantuan dari pungutan pajak, karena sektor tersebut adalah cikal bakal kekuatan bangsa ini.
Di mana pangan berfungsi sebagai ketahanan utama bangsa ini agar rakyat tidak mengalami kelaparan, sedangkan pendidikan merupakan tanggung jawab negara sesuai dengan amanah undang-undang dalam mencerdaskan bangsa.
Jika hal ini terus-menerus dibiarkan begitu saja, maka sangat mungkin akan terjadi ketidakstabilan negara, yang dapat mengakibatkan konflik internal karena rakyat yang kelaparan, harga yang semakin tinggi dan meningkatnya kebodohan akibat rakyat tidak mampu mengenyam pendidikan yang lebih baik.
“Wacana ini jelas sangat tidak bijak, terutama dengan kondisi pandemi Covid-19 yang masih berlangsung entah sampai kapan. Di saat rakyat sedang prihatin, karena secara finansial kemampuan mereka sedang turun drastis,” tambah Iqnal Shalat Sukma W. mewakili suara Pemuda Perindo, ketika dimintai saran dan kritiknya untuk keputusan pemerintah akan kenaikan dan perluasan pajak tersebut