Politisi dari Organisasi Sayap Partai Pemuda Perindo, Benedictus Telaumbanua mengungkapkan, hambatan terbesar terkait dialog untuk menyelesaikan konflik di Papua adalah kemauan politik (political will) pemerintah.
Sebab, menurut dia, Jokowi sudah sering berbicara mengenai dialog tetapi tak ada yang kunjung terlaksana.
Bukan pertama kali Pak Jokowi mengeluarkan statement seperti ini. Statement ini sering kali dikeluarkan tapi kemudian tidak diikuti, tidak diterjemahkan kemudian dengan tindakan konkret selanjutnya. Itu yang jadi persoalan. Kita seperti mendengar narasi-narasi yang lama,” ucap Ben di Kantor Sekretariat Organisasi Sayap Partai Pemuda Perindo di Jakarta.
Ketika Pak Jokowi bicara soal dialog, kemudian petinggi yang lain mengirimkan militer ke Papua. Ini kan sebenarnya sudah sering misalnya dulu yang rasisme. Ketika Pak Jokowi bicara dialog, beberapa hari kemudian Pak Wiranto (mantan Menko Polhukam) mengirim tentara, pasukan tambahan,” imbuhnya.
Ben juga menilai dialog harus dilakukan dengan prakondisi terlebih dahulu. Menurut dia, eskalasi kekerasan di bumi cenderawasih pada era Jokowi cenderung meningkat.
Terlebih saat ini KKB sudah digolongkan pemerintah sebagai organisasi teroris tanpa kajian matang.
Menurut saya, ini ada yang tidak sinergi antara rencana dialog dengan apa yang terjadi di Papua. Karena dialog tidak bisa dilakukan dalam ruang hampa, harus ada prakondisi dialog,” ungkap dia.
Prakondisi dialog itu adalah de-eskalasi kekerasan. Kekerasannya harusnya diturunkan dulu baru orang bisa dialog,” sambungnya. Ia tidak sepakat jika pemerintah nantinya menentukan sendiri pihak-pihak yang terlibat dalam dialog.
Ben, berpendapat bahwa masyarakat Papua harus diberikan kesempatan untuk menentukan pihak yang merepresentasikannya seperti Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) atau Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Bahkan dari kelompok yang paling tidak pernah diambil yaitu kelompok-kelompok aktor dominan dan signifikan seperti ULMWP atau KNPB,” pungkasnya